Minggu, 12 Oktober 2014

Pasir di Laut atau Bintang di Langit?

Oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom



Keduanya memiliki persamaan : sama-sama banyak. Bahkan lebih dari sekedar banyak. Jika hanya jumlah yang ingin digarisbawahi, jelas simbolisnya sama. Mereka berjumlah misterius alias tak terhitung.

“Keturunanmu akan sebanyak pasir di laut dan bintang di langit”. Demikian nubuatan yang dipastikan terjadi bagi keturunan lelaki tua itu.

Pasir memang sebanyak bintang. Namun ada perbedaan yang signifikan diantara keduanya : pasir di bawah, langit di atas.
Yang pertama diinjak-injak, yang kedua menjadi pandu.
Yang satu redup tak terlihat, yang lain gemerlapan menarik perhatian.

Jika aku kemudian terhisap lalu terhitung sebagai keturunan Abraham, sang lelaki tua itu. Maka satu hal yang tersisa dan tentunya harus mendapat jawaban tegas : apakah aku termasuk pasir atau bintang?

Tapi tunggu...
Seingatku seorang laki-laki lain yang jauh lebih muda di jaman yang jauh berbeda mengatakannya dengan cara yang berbeda : “Kamu adalah terang dunia!”. Ia mengawalinya dengan begitu jelas dan tegas.

“Kota yang terletak diatas bukit, tidak mungkin tersembunyi! Karena orang tidak menyalakan pelita lalu menaruhnya di bawah gantang, tetapi diatas kaki dian..”

Sepintas lalu mungkin tidak ada hubungannya dengan pasir dan bintang.  Namun demikian, kucoba untuk memperhatikannya dengan lebih teliti.

Ia bicara soal “kumpulan”. Kota-walaupun tidak sebanyak bintang.
Ia juga bicara tentang “ketinggian”. Bukit- walaupun tidak setinggi langit.
dan terakhir..
Ia bicara soal “terang”. Pelita- walaupun tidak segemerlap bintang.

Dari “bintang di langit” kepada “kota diatas bukit”. Yesus Kristus,  sama sekali tidak sedang menurunkan ‘standar’ keturunan nenek moyangnya, Abraham. Ia membawa ide itu dalam keseharian manusia. Menjadi sesuatu yang terjangkau oleh nalar manusia.  Membuat ide tentang bintang itu menjadi sangat mungkin.

Ternyata isu sentralnya bukan pada persoalan “jumlah” semata, namun kualitas.
Jadi aku rasa pertanyaan “Apakah aku termasuk bintang ataukah pasir?” tidak perlu kujawab.  Jauh lebih penting jika aku putuskan saja sekarang. Bahwa aku harus jadi bintang di langit, serendah-rendahnya..jadi kota bercahaya di atas bukit.
Amin!
(*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar