Minggu, 12 Oktober 2014

Brand(ing)

oleh : Made Teddy Artiana


Satu kata  di atas, termasuk kata yang paling sering digunakan dalam dunia marketing. Brand pada awalnya secara sederhana, bermakna ‘identitas’ atau ‘jati diri’. Istilah Brand kemudian berkembang sedemikian rupa tidak hanya sebagai ‘identitas’ namun ‘persepsi’. Identitas dan persepsi jelas berbeda. Identitas adalah jati diri, sedangkan persepsi adalah sesuatu yang ada di benak seseorang tentang suatu hal.

Tidak hanya produk, brand juga dilekatkan pada orang. Istilah personal branding pun mencuat kepermukaan. Maka ramai-ramailah orang  mem-branding diri mereka. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan personal branding, terutama ketika 100% menyangkut identitas, namun ketika bergeser meulu pada persepsi, ini mengundang masalah. 

Dalam Alkitab kita menemukan sebuah dialog tentang personal branding.
“Apa kata orang tentang Aku”, Yesus bertanya kepada para murid, “menurut mereka Aku ini siapa?”
 “Menurut mereka, Engkau adalah ...”  Murid-murid menjawab beragam.
Yesus kemudian bertanya kepada lingkaran terdekatnya. ”Menurut kamu, Aku ini siapa?”.
“Engkau adalah Mesias!”, Petrus sang bombastispun angkat bicara.

Jawaban yang tepat. Namun yang mengherankan adalah reaksi Yesus. Ia melarang keras mereka memberitahu orang banyak bahwa dirinya adalah Mesias.

Jelas persepsi orang banyak tentang Kristus tidak dapat dipersalahkan. Yang menarik adalah persepsi para murid. Meskipun menggunakan terminologi yang sama dengan ‘identitas’ Yesus yang sebenarnya, ternyata persepsi mereka tentang Mesias keliru besar. Karena itulah Yesus melarang keras mereka menyebarluaskan presepsi yang salah itu.


                Dunia hari ini, kian membuat seseorang kehilangan identitas dan menukarkannya dengan persepsi. Kita begitu kuatir tentang persepsi orang terhadap kita. Ini tentunya manusiawi. Namun kekuatiran yang berlebih terhadap sebuah persepsi yang kemudian berakibat pada hilangnya identitas, jelas berbahaya. Identitas bekerja dari dalam ke luar, sementara persepsi dari luar ke dalam. Identitas membentuk diri kemudian mempengaruhi sekitar, sementara persepsi pengaruh sekitarlah yang membentuk diri. Akitab menginginkan seorang percaya jelas dan hidup dalam identitasnya sebagai Anak-anak Allah. Apapun persepsi dunia pada akhirnya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar