oleh : Made Teddy Artiana
Satu kata di atas, termasuk kata yang paling sering
digunakan dalam dunia marketing. Brand
pada awalnya secara sederhana, bermakna ‘identitas’ atau ‘jati diri’. Istilah Brand kemudian berkembang sedemikian
rupa tidak hanya sebagai ‘identitas’ namun ‘persepsi’. Identitas dan persepsi
jelas berbeda. Identitas adalah jati diri, sedangkan persepsi adalah sesuatu
yang ada di benak seseorang tentang suatu hal.
Tidak hanya
produk, brand juga dilekatkan pada
orang. Istilah personal branding pun mencuat kepermukaan. Maka ramai-ramailah
orang mem-branding diri mereka.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan personal
branding, terutama ketika 100% menyangkut identitas, namun ketika bergeser meulu
pada persepsi, ini mengundang masalah.
Dalam Alkitab
kita menemukan sebuah dialog tentang personal branding.
“Apa kata
orang tentang Aku”, Yesus bertanya kepada para murid, “menurut mereka Aku ini
siapa?”
“Menurut mereka, Engkau adalah ...” Murid-murid menjawab beragam.
Yesus kemudian
bertanya kepada lingkaran terdekatnya. ”Menurut kamu, Aku ini siapa?”.
“Engkau adalah
Mesias!”, Petrus sang bombastispun angkat bicara.
Jawaban yang
tepat. Namun yang mengherankan adalah reaksi Yesus. Ia melarang keras mereka
memberitahu orang banyak bahwa dirinya adalah Mesias.
Jelas persepsi
orang banyak tentang Kristus tidak dapat dipersalahkan. Yang menarik adalah
persepsi para murid. Meskipun menggunakan terminologi yang sama dengan
‘identitas’ Yesus yang sebenarnya, ternyata persepsi mereka tentang Mesias
keliru besar. Karena itulah Yesus melarang keras mereka menyebarluaskan
presepsi yang salah itu.
Dunia
hari ini, kian membuat seseorang kehilangan identitas dan menukarkannya dengan
persepsi. Kita begitu kuatir tentang persepsi orang terhadap kita. Ini tentunya
manusiawi. Namun kekuatiran yang berlebih terhadap sebuah persepsi yang
kemudian berakibat pada hilangnya identitas, jelas berbahaya. Identitas bekerja
dari dalam ke luar, sementara persepsi dari luar ke dalam. Identitas membentuk
diri kemudian mempengaruhi sekitar, sementara persepsi pengaruh sekitarlah yang
membentuk diri. Akitab menginginkan seorang percaya jelas dan hidup dalam
identitasnya sebagai Anak-anak Allah. Apapun persepsi dunia pada akhirnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar