Minggu, 12 Oktober 2014

Kisah Seutas Benang

Oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom


Awalnya, ia hanya seutas benang. Faktanya, bahkan ia jauh beribu-ribu lebih halus dari benang yang kita tahu. Tipis, kecil, tak terlihat dan terabaikan.
Namun begitu, yang aneh adalah setiap kita melakukan sesuatu yang sama, ia menebal. Melakukan sekali lagi, iapun kembali menebal sekali lagi. Pengulangan menebalkan sekaligus menguatkan benang yang tadinya hanya seutas itu.
Sehari, seminggu, sebulan, setahun..benang itupun semakin kuat.
Setelah kuat, benang itu segera menunjukkan kekuasaannya. Mereka (karena tidak lagi sehelai) mengontrol kehidupan seseorang, tanpa disadari. Menguasai cara berkata-kata, bertindak, bahkan setiap reaksi terhadap sesuatu.
Kekuasaan merekapun beragam, ada yang positif dan memuliakan, namun ada pula yang negatif, mengungkung, memperbudak, menjerumuskan. Semuanya tergantung penguatan yang dilakukan tuannya. Di titik inilah mereka bisa jadi ‘senjata pamungkas’ atau ‘senjata makan tuan’. Sekali lagi, semua ditentukan oleh kita, tuannya.
Benang itu adalah : neuro (syaraf) kita. 
Jalinannya yang kuat membentuk ‘kebiasaan’ kita. Akhirnya bermuara pada ‘karakter’.  Kita adalah Sang Tuan, yang lewat pengulangan sikap, cara berpikir, reaksi dan sensasi, menyebabkan mereka 'berkembak-biak'. Menebal, menguat kemudian menguasai.
Menjadi demikian otomatis namun jika disadari, proses menenunnya ternyata jauh dari otomatis.
Satu kata, satu tatapan, satu senyum ramah, satu kepedulian, satu kebaikan, satu pengorbanan, satu ketulusan, satu amarah, satu dusta, satu kelicikan...selalu berupa penguatan. Selalu.
“The beginning of a habit is like an invisible thread, but every time we repeat the act we strengthen the strand, add to it another filament, until it becomes a great cable and binds us irrevocably, thought and act”  (Orison Swett Marden)
(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar