Minggu, 12 Oktober 2014

“Nyang Penting Pelototin Amplopnye!”


Oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom



Peristiwa ini terjadi di hiruk pikuk nya perayaan 17 Agustus ala Kalimalang. Adegannya pasti sudah sangat akrab dimata kita. Melibatkan beberapa pemeran. Coklatnya air Kalimalang, sekumpulan bocah-bocah bertelanjang dada, sebatang pohon pinang yang licin –karena sudah diserut dan dilumuri oli- lalu penonton dan yang terakhir –yang paling penting- adalah hadiah (bisa berupa benda-benda, ataupun amplop).

Aturannya sederhana : barangsiapa yang berhasil menaklukan kelicinan pinang itu dan berhasil mencapai ujung, ia berhak atas hadiah. Silakan pilih sendiri! Apapun itu! Kalau gagal? Resikonya beragam, tercebur di Sungai Kalimalang dan meminum airnya atau benjut, kejedot batang pinang.

Walaupun terlihat sederhana bagi penonton, tetapi sangat tidak mudah bagi bocah-bocah itu. Sudah lima belas menit berlangsung, tidak satupun dari mereka yang jangankan untuk sampai diujungnya, setengah dari pangkal pinang itu saja, belum ada satupun yang berhasil menapakinya lebih jauh dari dua meter.

Adegan terpeleset, nyebur, kejedot sudah terjadi seluruhnya, bahkan sudah sempat berulang untuk yang kesekian kali. Keadaan mulai membosankan. Para penonton yang semula tertawa terbahak-bahak, kini hanya tersenyum. Bahkan diantara mereka sudah banyak yang sibuk ngobrol sendiri dan hanya menoleh sesekali ke arena. Beberapa ibu mulai memunculkan raut wajah yang mengasihani bocah-bocah itu. Sangat bisa dimengerti. Sudah pada begeng, gak pake baju, basah kuyub, bibir membiru dan menggigil pula!

Hingga seseorang menyeruak menyeruak kerumunan. Berbadan gempal, berkumis tebal, kuit legam, wajah seram, dengan mengenakan topi bertulis “FBR”. Ia berjongkok, lalu memanggil bocah-bocah malang itu. Bagaikan domba-domba yang baru saja dicukur di musim dingin, dengan gemetar mereka mendekati Bang Jampang.
“Hoiiiiii…yang elu pelototin itu no…amplopnyeee !!!”, teriaknya serak namun kuat,” bukan pinangnye!! Kallo pinangnye yang elu pelototin, sampe jadi pocong juga kagak ada yang bisa nyampe!!!”

Kata-kata yang tidak akan bisa kulupakan seumur hidup.

Kata-kata itu muncul bak mantra sakti mandraguna terlebih ketika dalam perjalanan hidup meraih cita-cita, sesuatu dengan label ‘kesulitan’ atau ‘ketakutan’ atau ‘tidak mungkin’ bagai drakula, menghadang ditengah jalan sambil menunjukkan taringnya. Dan ketika mantra si Bang Jampang itu terngiang, aku sengaja mengulanginya beberapa kali secara verbal : “Yang elu pelototin itu… amplopnyeee!!! bukan pinangnye !!”

Lalu akupun segera membayangkan diriku berdiri sebagai salah satu bocah Kalimalang dalam pertandingan pinang 17-an itu. Pikiranku segera berfokus pada tujuanku. Sesuatu yang mewakili passion yang tertinggi. Cita-cita. Tanpa mau ditakut-takuti berlebihan dengan pinang berlumuran oli, coklatnya air Kalimalang bahkan cemoohan para penonton yang siap menertawakan kegagalanku. Lalu mulai berjalan. Pengalaman bertutur, hampir tidak ada halangan yang berhasi mematahkanku sampai ke tujuan.

Lalu bagaimana kelanjutan kisah bocah-bocah Kalimang itu setelah mendapat briefing dari Bang Jampang? Akhirnya, tidak sampai 10 menit, amplop-amplop diujung pinang itu habis ludes tanpa sisa disikat bocah-bocah Kalimalang. Perubahan dahsyat, yang sebelumnya ‘nyaris’ pulang sakit hati, merana, gigit jari jempol kaki! (*)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar