Oleh : Made
Teddy Artiana, S. Kom
Peristiwa ini terjadi di hiruk
pikuk nya perayaan 17 Agustus ala Kalimalang. Adegannya pasti sudah sangat
akrab dimata kita.
Melibatkan beberapa pemeran. Coklatnya
air Kalimalang, sekumpulan bocah-bocah bertelanjang dada, sebatang pohon pinang
yang licin –karena sudah diserut dan dilumuri oli- lalu penonton dan yang terakhir
–yang paling penting- adalah hadiah (bisa berupa benda-benda, ataupun amplop).
Aturannya sederhana : barangsiapa
yang berhasil menaklukan kelicinan pinang itu dan berhasil mencapai ujung, ia
berhak atas hadiah. Silakan pilih sendiri! Apapun itu! Kalau gagal? Resikonya beragam,
tercebur di Sungai Kalimalang dan meminum airnya atau benjut, kejedot batang
pinang.
Walaupun terlihat sederhana bagi
penonton, tetapi sangat tidak mudah bagi bocah-bocah itu. Sudah lima belas
menit berlangsung, tidak satupun dari mereka yang jangankan untuk sampai
diujungnya, setengah dari pangkal pinang itu saja, belum ada satupun yang
berhasil menapakinya lebih jauh dari dua meter.
Adegan terpeleset, nyebur,
kejedot sudah terjadi seluruhnya, bahkan sudah sempat berulang untuk yang
kesekian kali. Keadaan mulai membosankan. Para penonton yang semula tertawa terbahak-bahak,
kini hanya tersenyum.
Bahkan
diantara mereka sudah banyak yang sibuk ngobrol sendiri dan hanya menoleh
sesekali ke arena. Beberapa ibu mulai memunculkan raut wajah yang mengasihani
bocah-bocah itu. Sangat bisa dimengerti. Sudah pada begeng, gak pake baju,
basah kuyub, bibir membiru dan menggigil pula!
Hingga seseorang menyeruak menyeruak kerumunan. Berbadan gempal,
berkumis tebal, kuit legam, wajah seram,
dengan mengenakan topi bertulis “FBR”. Ia berjongkok, lalu memanggil bocah-bocah malang
itu. Bagaikan domba-domba yang baru saja dicukur di musim dingin, dengan gemetar
mereka mendekati “Bang
Jampang”.
“Hoiiiiii…yang
elu pelototin itu no…amplopnyeee
!!!”, teriaknya
serak namun kuat,” bukan pinangnye!! Kallo pinangnye yang elu
pelototin, sampe jadi pocong juga kagak ada yang bisa nyampe!!!”
Kata-kata yang tidak akan bisa
kulupakan seumur hidup.
Kata-kata itu muncul bak mantra
sakti mandraguna terlebih ketika dalam perjalanan hidup meraih cita-cita,
sesuatu dengan label ‘kesulitan’ atau ‘ketakutan’ atau ‘tidak mungkin’ bagai
drakula, menghadang ditengah jalan sambil menunjukkan taringnya. Dan ketika
mantra si Bang Jampang itu terngiang, aku sengaja mengulanginya beberapa kali
secara verbal : “Yang elu pelototin itu… amplopnyeee!!!
bukan pinangnye !!”
Lalu akupun segera membayangkan
diriku berdiri sebagai salah satu bocah Kalimalang dalam pertandingan pinang
17-an itu. Pikiranku segera berfokus pada tujuanku. Sesuatu yang mewakili passion yang tertinggi. Cita-cita. Tanpa mau ditakut-takuti
berlebihan dengan pinang berlumuran oli, coklatnya air Kalimalang bahkan
cemoohan para penonton yang siap menertawakan kegagalanku. Lalu mulai berjalan. Pengalaman
bertutur, hampir tidak ada halangan yang berhasi mematahkanku sampai ke tujuan.
Lalu bagaimana kelanjutan kisah bocah-bocah Kalimang
itu setelah mendapat briefing dari Bang Jampang? Akhirnya, tidak sampai 10
menit, amplop-amplop diujung pinang itu habis ludes tanpa sisa disikat bocah-bocah
Kalimalang. Perubahan dahsyat,
yang sebelumnya ‘nyaris’ pulang sakit hati, merana, gigit jari jempol kaki! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar