Oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom
"Air panas! Air panas!!",
teriak Bi Jujuk dengan wajah tegang, sembari membawa panci berisi sop ayam yang
mengepul. Karuan saja kami yang sedang berada di ruang itu menepi memberi
jalan. Kami semua pasti ingin mencicipi sop ayam buatan Bibi, tapi tersiram sop
ayam panas, wah..! Siapapun tak mau!
Kejadian unik itu kembali terbayang,
ketika aku membaca salah satu ayat Amsal Sulaiman, yang cukup terkenal. "Jagalah
hatimu dengan segala kewaspadaan, karena darisanalah terpancar kehidupan"
Aku sempat menganggap, persoalan
menjaga hati adalah urusan kita masing-masing. Dalam arti, mengapa Sulaiman
dengan ilham Roh Kudus, mengingatkan betapa penting menjaga "hatimu",
satu-satunya alasan adalah demi kebaikan si pemilik hati itu. Namun rupanya
tidak sesederhana itu. Menjaga hati, bukan hanya demi kebaikan si pemilik hati,
namun persoalan menjaga hati, juga adalah demi kebaikan orang lain. Persis
seperti Bi Jujuk ketika membawa sop panas ditangannya. Ia bersungguh-sungguh
menjaganya, bukan hanya karena ia tidak ingin ditumpahi sop panas itu, namun
juga karena ia tidak ingin, kelalaiannya mengakibatkan orang lain ketumpahan
sop panas itu.
Siapapun tahu seorang yang tengah depresi,
kecewa, putus asa, dan sebangsanya, besar kemungkinan tidak hanya akan
membahayakan dirinya sendiri namun juga mencelakai orang sekitarnya. Hitler adalah
contoh dimana kepahitan di hati seseorang dapat berakibat fatal bagi seluruh
dunia. Dalam Alkitab pun tercatat, bagaimana Herodes, dengan kecemburuan hati
yang pekat terhadap bayi Yesus, kemudian membunuh bayi-bayi dengan keji.
Demikian pula sebaliknya. Seseorang
dengan hati damai dan berkasih sayang, akan menjadi berkat bagi sekitarnya. Orang
Samaria yang baik hati, adalah saah satu contoh unik yang digunakan Yesus di
Akitab. Dunia juga mencatat, bagaimana Mother Theresa mengorbankan hidupnya
untuk orang miskin dan berpenyakit kusta di India.
Ternyata menjaga hati adalah hal yang
sangat serius. Karena hatilah yang menggerakkan pikiran, tubuh, bibir dan
seluruh keberadaan manusia. Sayangnya, kita tidak menganggap persoalan menjaga
hati lebih serius dari membawa sepanci air panas. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar