Minggu, 12 Oktober 2014

“Aaaauuuuuuuuuuuuuuwwwwww...!”

Oleh : MTA


Tidak ada alunan musik. Cahaya ruangan terasa temaram, lantaran lampu sudah ada yang dipadamkan. Bangku resto sudah terlihat banyak yang kosong. Di beberapa sudut malah kursi sudah naik dan tersusun rapi di atas meja. Makan malam kami kali ini memang terbilang agak terlambat. Untunglah beberapa orang masih terlihat menunggu pesanan. Tiba-tiba...

“Aaaauuuuuuuuuuuuuuwwwwww...!”
“Aaaauuuuuuuuuuuuuuwwwwww...!”
“Aaaauuuuuuuuuuuuuuwwwwww...!”

Suara lolongan serigala terdengar bergema.

Karyawan dan pengunjung resto mendadak sontak terperanjat. Reaksi mereka beragam. Ada yang mengelus dada mengisyaratkan kekagetan. Ada pula yang menutup telinga dengan kedua tangan, sambil ngedumel takut bercampur kesal. Sebagian mereka mengernyitkan dahi. Mereka semua celingukan mencari sumber suara yang merusak suasana resto.

Sementara itu, disalah satu sudut ruangan, terhalang oleh tiang, seorang anak kecil berwajah jenaka. Di tangan mungilnya tampak gadget. Mata terpejam, mulut dimonyong-monyongkan dan gerakan leher naik turun, meniru ‘bahasa tubuh’ serigala yang melolong. Diselilingi tawa cekikan geli bocah yang tak perduli sekitar.

                Dua penafsiran bertolakbelakang tentang lolongan serigala.
            
    Cobalah meluangkan waktu mengintrospeksi diri. Maka kita akan menemukan betapa kita sering tidak sadar ‘derajat ketercemaran’ kita sendiri. Faktanya, setelah puluhan tahun hidup, kita telah terisi tidak melulu hal-hal baik yang memberdayakan, namun juga hal-hal yang sama sekali tidak memberdayakan yang seringkali bahkan tidak teruji kebenarannya. Tidak hanya tahayul namun juga keyakinan-keyakinan yang tidak keliru tentang hidup, identitas diri, sesama, bahkan Pencipta. Sampah yang tertelan lalu tersimpan rapi di bawah sadar kemudian membebani kehidupan kita selanjutnya.

Raja Daud penulis kitab Mazmur yang termasyur itu, pernah memohon kepada TUHAN , berkenaan dengan hal tersebut : “Siapakah yang mengetahui kesesatan? Bebaskanlah aku dari yang tidak kusadari”.

Sebuah kebenaran hakiki bahwa hanya Sang Pencipta yang sanggup membersihkan kita secara tuntas terhadap segala bentuk ketercemaran. Sayangnya hanya segelintir orang yang menyadari hal itu. (*)


Lebah vs Lalat

Oleh : MTA



Menyaksikan tayangan dunia binatang di televisi, memang kerap kali membawa kita kepada sebuah pencerahan.

Kehidupan lebah misalnya. Lewat instingnya, akan selalu menemukan bunga, sebagai makanannya. Oleh instingnya, kehidupan lebahpun berkutat diseputar : bunga, madu, bunga, madu..dan seterusnya. Lain halnya dengan lalat (bukan lalat buah). Lantaran insting pua, maka lalat bagaimanapun akan menemukan kotoran. Sejauh-jauhnya lalat terbang, ujung-ujungnya selalu akan mendarat di kotoran.

Mari kita lupakan sejenak ‘insting’ kedua binatang di atas. Sekarang kita coba aplikasikan dalam kehidupan manusia. Sebagai manusia kita memiliki kehendak bebas dari Sang Pencipta.  Kebebasan memilih apapun yang akan kita masukkan di hati kita. Kita bebas menafsirkan segala sesuatu yang terjadi sesuka-sukanya. Bahkan TUHAN sekalipun, tidak mendikte isi hati kita.

Jika demikian berarti hati kitalah yang akan menentukan berkutat dalam hidup seperti apa kita sekarang dan nanti. Itulah sebabnya, ada orang yang mulia, sukses, sehat dan bahagia. Namun, ada juga yang gagal, sakit-sakitan, kekurangan dan tidak bahagia.

Tentu itu bukan kebetulan, karena tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Semuanya rangkaian sebab dan akibat.

Terlalu naif pula, jika perbedaan ‘status’ kehidupan itu melulu kita kaitkan kepada sebuah variabel : kerja-keras. Tanpa sikap hati yang benar, kerja keras terbukti hanya melelahkan kita saja.

Adalah bijak untuk selalu mengaktifkan, membiasakan, memperkuat ‘insting’ lebah kita. Supaya betapapun keadaan di luar kita, kita akan selalu menemukan bunga untuk menghasilkan madu. Dalam arti kehidupan yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.

Kita tentu tidak ingin kehidupan kita seperti lalat, berkutat dalam kotoran, sampah, bau busuk, pergaulan buruk, pernikahan yang berantakan, kesehatan yang menyedihkan, kesulitan finansial, hidup yang morat-marit dan berakhir pada kehinaan. Kehinaan yang tentu turut menyebarkan penyakit (pengaruh buruk) bagi orang lain


Tidak seperti lebah maupun lalat, persoalan kita bukan sekedar insting, namun pilihan menjaga hati kita. Seperti peringatan Raja Sulaiman dalam kitab Amsal, “Jagalah hatimu, dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan”(*)

By Design, Not an Accident

Oleh : MTA



Sejujurnya, takjub juga mengetahui hal berikut. Beberapa fakta dari Citah, salah satu varian dari keluarga kucing raksasa (Macan, Singa, Harimau dan sebangsanya) :

·         Pertama, garis hitam memanjang di bawah mata. Ini membuat pandangan matanya dapat sedemikian fokus dengan target, sehingga Citah mampu menentukan target buruan hewan mana yang sakit, tua atau muda dengan sekali scan pada kumpulan hewan. Selain itu garis hitam itu juga membuat matanya dapat "mengunci" sasaran buruan, persis peluru kendali mengunci sasaran tembak.
·         Lalu, bentuk tubuh yang aerodinamis, membuat Citah dapat berlari sedemikian rupa dengan hambatan minim dari angin.
·         Hidung dan paru-paru yang lebih besar, membuat ia bisa tetap bernafas dengan sangat baik pada saat berlari cepat.
·         Struktur persendiaan kaki depan dan belakang yang seolah memiliki pegas yang dapat memantul sejauh 8 meter dalam sekali ayun.
·         Cakar yang lebih panjang dan melengkung, membantunya mencengkram tanah pada saat berlari.
·         Ekor panjang menjuntai, menjadi penentu pada saat Citah berlari, ekor inilah yang menyeimbangkan kecepatan dan gerak tubuhnya yang sangat lentur.
·         Bentuk gigi-geligi yang membuat Citah sanggup dengan cepat merobek dan memakan buruannya.

Jika seluruh "senjata" itu digabung menjadi satu, maka terciptalah bukan saja sebuah mesin pemburu yang dahsyat, namun juga "mahluk tercepat dari segala mahluk di darat" (gelar Citah).

Namun apakah itu semua serta merta membuat Citah menjadi yang terhebat disegala hal? Ternyata tidak, justru kelebihan-kelebihan diatas itu diberikan Sang Penciptanya karena Citah ternyata punya beberapa kelemahan. 

Berikut dua dari beberapa keterbatasan yang dimiliki Citah :
·         Sekalipun dapat berlari demikian cepat, namun kecepatan maksimum Citah hanya bertahan sepanjang jarak 300m. Setelah itu, ia takkan sanggup lagi mengejar buruannya. Karena itulah ia harus berlari secepat mungkin dalam jarak pendek. Ia sprinter dan bukan pelari jarak menengah apalagi marathon.
·         Sekalipun sebagai pemburu yang hebat, namun ternyata Citah bukan petarung tangguh. Sang pemburu itu seketika jadi penakut, *ngibrit* kabur meninggalkan mangsanya ketika mangsa buruannya itu didekati oleh Singa, Haena, Elang, bahkan binatang buas lain yang memiliki ukuran tubuh yang jauh lebih kecil darinya. Karena itulah Citah mau tidak mau harus makan buru-buru.

Belajar dari semua itu...berarti seluruh keberadaan fisik (dan beberapa keadaan bawaan lahir) kita bisa jadi adalah sebuah kesengajaan dari Sang Pencipta. Rambut keriting, hidung pesek, bogel, mata sipit, bibir tebal,telinga yang terlalu lebar, pantat tepos, bahkan tahi lalat yang nemplok di tempat yang kita anggap salah, bisa jadi adalah sebuah (sekali lagi) kesengajaan. By design!

Namun terlampau sering kita menganggap itu sebagai sebuah "kecelakaan". Lebih dari itu, kita kemudian menyesalinya dan menganggap itu semua sebagai aib (meski kecil-kecilan). Padahal, jika kita sungguh-sungguh merenung bisa jadi, penerimaan tulus kita kepada sang diri, menjadi awal tersingkapnya seluruh "kesaktian" yang tersembunyi dibalik "keunikan" yang ada pada kita.

Bisa jadi "kelemahan" (keunikan) itu diijinkan melekat pada kita, untuk melindungi kita dari sesuatu yang buruk. Entah analisa naif ini benar atau tidak, hanya waktu yang akan membuktikannya. Tapi satu hal yang pasti, bahkan lebih pasti dari terbitnya matahari di Timur esok pagi, bahwa siapapun akan setuju, jika manusia itu jauh lebih berharga dan mulia dibandingkan binatang. Jika Citah saja didesain sedemikian detail, lengkap, canggih dan luar biasa, oleh TUHAN Sang Pencipta, masa iya blueprint kita berada di bawah standar seekor Citah? 

Tentu suatu "hil yang mustahal"!
(*)

Sebuah Batu

Oleh  MTA


"Dek, lagi ngapain?", sapaku ramah kepada seorang anak laki-laki bercelana pendek yang tengah mendongak ke arah pepohonan. Di tangan kiri nya tergantung sebentuk katapel kecil, sedang ditangan kanannya dua butir batu.
"Nyari burung Pipit", ujarnya singkat, tanpa menoleh sedikitpun kepadaku.

Sebenarnya dengan tanpa perlu bertanya, siapapun yang memiliki sepasang mata dan otak berukuran standar, akan tahu apa yang sedang dikerjakan oleh anak laki-laki yang tidak mengenakan alas kaki ini.

"Kasihan khan Dek..dia khan sedang nyari makan untuk anak-anaknya di sarang". Aku berusaha menyadarkannya.
"Om, saya laper, terus ibu saya malah nyuruh saya nyari makan sendiri!"

Kali ini ia menatapku tajam. Wajah kumalnya baru tampak jelas. Aku terhenyak tak sanggup berkata apapun.

...
Demikianlah "jubah kebenaran" yang tampak mentereng kita kenakan, seringkali terasa usang, kumal bahkan bodoh..jika tanpa hati yang berbelas kasihan.

Terkesan sebagai persoalan sederhana. Namun, bagi TUHAN..ini lebih mengerikan dari kanker stadium akhir
(kematian).

Segerombolan orang menyeret seorang perempuan yang kedapatan berjinah kedepan hidung Yesus. Anda tentu hafal di luar kepala adegan ini. Adegan yang melibatkan perempaun, Yesus, gerombolan, batu dan..Jebakan Batman!

Tidak jelas dengan siapa ia berjinah, karena yang mereka seret hanya wanitanya saja. Baiklah, kitaa lupakan sejenak Pria Hidung Belang itu. Kini kita arahkan perhatian serta imajinasi kita kepada adegan diatas.

Dengan tidak bermaksud meracuni pikiran umat TUHAN -semoga Ia mengampuni saya- wanita yang kepergok sedang berjinah. Mereka memergoki alias 'menangkap basah' perempuan itu..kemudian 'buru-buru' membawanya kepada Yesus.

Saya percaya, kondisi wanita ini 'mengerikan'. Rambut acak-acakan, pakaian berantakan, mungkin masih berkeringat..STOP! Saya menahan diri untuk mendeskripsikannya lebih lanjut. Fuih...

Darimana dugaan saya ini berasal? Simple! Lihat reaksi Kristus.

Gerombolan bodoh yang berjubahkan kebenaran ini membawa 'contoh' atau mungkin lebih tepatnya 'Jebakan Batman' kehadapan Kristus. Apa yang dikerjakan oleh Yesus..?  Ngambar!

Sure..Kristus merasa penting mengalihkan pandangan serta "imajinasi" gerombolan serta masa, yang semula berpusat kepada wanita ini menuju kepada gambar-gambar Pablo Picasso Yesus di tanah. Pikirkan sebentar...maka Anda akan setuju betapa tololnya gerombolan itu.

Ini belum melibatkan urusan batu dan lempar-melempar.

Kebodohan gerombolan itu menjadi sempurna, ketika pertanyaan bodoh penutup mereka lontarkan. Yesus setuju, hanya saja dengan syarat : siapa yang tidak berdosa boleh melemparkan batu terlebih dahulu. Mendengar jawaban Yesus itu pun, mereka semua balik kanan bubar jalan...dari yang tertua pastinya.

Puncak adegan aneh itu adalah ketika Yesus "yang tak berdosa" memutuskan untuk ikut-ikutan tidak melempar batu. Sekilas, Ia tampak membuat basi hukum Taurat yang diperintahkan oleh Allah, Bapa-nya sendiri kepada Musa. Tapi tunggu dulu..

Bagaimana jika alasan Yesus menghalangi eksekusi itu adalah, bahwa Dia sendirilah yang akan menggantikan posisi wanita itu untuk dieksekusi? 

Talenta : Risk and Return

Oleh : Made Teddy Artiana



Sebelum dipahami sebagai “karunia”, “bakat”, “keahlian”, kata “talenta” berarti “uang”.  Uang yang sangat besar jumlahnya.

1 talenta sama dengan 10.000 dinar. Sementara satu dinar adalah upah dalam satu hari kerja. Jika 1 tahun ada 365 hari, maka 1 talenta itu adalah akumulasi upah selama kurang-lebih 30 tahun!

Di Alkitab ada sebuah kisah unik tentang talenta yang dikisahkan oleh Yesus Kristus. Sebuah perumpamaan yang memuat pesan yang sangat hakiki. Adalah seorang tuan yang mempercayakan uang ke tiga orang stafnya. Masing-masing mendapat 5,2 dan 1 talenta, sesuai dengan kesanggupannya. Penekanananya adalah : sesuai dengan kesanggupannya.

Reaksi stafnya beragam. Ada yang menjalankan (menginvestasikan) uang tersebut, ada pula yang hanya menyembunyikan uang tersebut dengan susah payah. Dengan susah-payah? Tentu! Uang sebesar itu pada jaman dimana bank belum ada pastinya sangat merepotkan. Jangankan di bawah tanah, disembunyikan dimanapun tentu akan membuat tidur tak nyenyak lantaran hati dag-dig-dug tak karuan.

Sangat kontras dengan yang dilakukan kedua orang kawannya yang lain. Mereka memilih menempuh resiko. Mungkin dengan berdagang, bisa jadi membuka kebun anggur, atau merintis kedai makanan. Yang jelas, uang yang banyak itu harus diinvestasikan.

Hari perhitunganpun tiba.

Orang yang menyembunyikan uang tuannya mendapatkan persis seperti ‘imannya’. Ia mengimani kekejaman tuannya, maka kekejaman pula yang ia dapatkan. Sementara kedua orang kawannya, mendapatkan pujian, upah dan kepercayaan yang lebih besar lagi dari tuannya.

Talenta, keahlian, bakat dari TUHAN adalah sesuatu yang “harus” kita kembangkan. Itu adalah tugas. Resiko tentu selalu ada. Namun jika kita  memiliki pemahaman yang benar tentang Dia, Sang Tuan, maka resiko menjadi ajang pengenalan kita terhadapNya.

 “Dalam setiap jerih-payah ada keuntungan”, tulis Amsal Salomo.


Simpanlah karunia Anda, maka tidak hanya kemiskinan yang akan menguasai hidup Anda, namun juga kemarahan Sang Tuan.  Kembangkanlah karunia Anda, maka kesejahteraan menjadi bagian Anda. Ditambah upah dari Sang Tuan (*) 

Kelembutan Berbungkus Kedahsyatan

Oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom

Tak usah ku takut. Allah menjagaku.
Tak usah ku bimbang. Yesus peliharaku.
Tak usah ku usah. Roh Kudus hiburku.
Tak usah ku cemas, Dia memberkatiku.

El Shaddai....El Shaddai. Allah Maha Kuasa
Dia Besar..Dia Besar. El Shaddai mulia

Demikian penggalan sebuah lagu rohani bertutur. Lagu yang cukup populer  dikidungkan di gereja-gereja.  Syairnya jelas, tentang  ketakutan, kebimbang dan kekuatiran yang lenyap begitu saja tertelan  “Kemahakuasaan” dan “Pemeliharaan” Allah.

Sebenarnya, jika ditelaah lebih jauh, ada sesuatu yang sangat unik tentang dua kata dari bahasa Ibrani tersebut. Orang kristiani sering menerjemahkan secara harfiah kata El Shaddai atau Elohim Shaddai, hanya sebagai “Allah Yang Maha Kuasa”. Tidak salah memang, namun ada makna yang jauh lebih dalam dan menyentuh dari semua itu.

El Shaddai berasal dari kata “Elohim” dan “Shad”. Kata “Elohim” mengacu pada “Tuhan”. Sementara kata “Shad” bermakna sebagai “buah dada”. Ternyata kata “El Shaddai” dianalogikan dengan “buah dada seorang Ibu yang memelihara seluruh kebutuhan bayinya”.  Kita tentu telah mengetahui betapa ASI (Air Susu Ibu) bukan hanya bicara soal makanan dan minuman seorang bayi, namun juga pondasi bagi kehidupan seorang manusia. ASI juga berbicara tentang segala keutamaan, sesuatu yang esensial, kekebalan tubuh dan tentunya..dekapan lembut seorang ibu.

Sah-sah saja tentunya membayangkan “kemahakuasaan” Allah dalam air bah, tiang awan, tiang api, hujan es, air jadi darah, mulut singa yang tertutup, dan sebagai-sebagainya. Namun jika kehidupan ini menghajar Anda sedemikian rupa, hingga seluruh mukjizat menjadi terlalu spektakuler tak terjangkau oleh akal pikiran Anda. Maka cobalah meraih  sesuatu yang dekat dengan keseharian kita. Sesuatu yang  sederhana namun agung, yang sama dahsyatnya dengan mukjizat spektakuler di atas : dekapan kasih sayang seorang ibu kepada bayinya.


Demikianlah “El Shaddai” yang menjamin hidup kita. Allah Maha Dahyat yang mendekap dan menentramkan kita dalam Kelembutan-Nya. (*)

Brand(ing)

oleh : Made Teddy Artiana


Satu kata  di atas, termasuk kata yang paling sering digunakan dalam dunia marketing. Brand pada awalnya secara sederhana, bermakna ‘identitas’ atau ‘jati diri’. Istilah Brand kemudian berkembang sedemikian rupa tidak hanya sebagai ‘identitas’ namun ‘persepsi’. Identitas dan persepsi jelas berbeda. Identitas adalah jati diri, sedangkan persepsi adalah sesuatu yang ada di benak seseorang tentang suatu hal.

Tidak hanya produk, brand juga dilekatkan pada orang. Istilah personal branding pun mencuat kepermukaan. Maka ramai-ramailah orang  mem-branding diri mereka. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan personal branding, terutama ketika 100% menyangkut identitas, namun ketika bergeser meulu pada persepsi, ini mengundang masalah. 

Dalam Alkitab kita menemukan sebuah dialog tentang personal branding.
“Apa kata orang tentang Aku”, Yesus bertanya kepada para murid, “menurut mereka Aku ini siapa?”
 “Menurut mereka, Engkau adalah ...”  Murid-murid menjawab beragam.
Yesus kemudian bertanya kepada lingkaran terdekatnya. ”Menurut kamu, Aku ini siapa?”.
“Engkau adalah Mesias!”, Petrus sang bombastispun angkat bicara.

Jawaban yang tepat. Namun yang mengherankan adalah reaksi Yesus. Ia melarang keras mereka memberitahu orang banyak bahwa dirinya adalah Mesias.

Jelas persepsi orang banyak tentang Kristus tidak dapat dipersalahkan. Yang menarik adalah persepsi para murid. Meskipun menggunakan terminologi yang sama dengan ‘identitas’ Yesus yang sebenarnya, ternyata persepsi mereka tentang Mesias keliru besar. Karena itulah Yesus melarang keras mereka menyebarluaskan presepsi yang salah itu.


                Dunia hari ini, kian membuat seseorang kehilangan identitas dan menukarkannya dengan persepsi. Kita begitu kuatir tentang persepsi orang terhadap kita. Ini tentunya manusiawi. Namun kekuatiran yang berlebih terhadap sebuah persepsi yang kemudian berakibat pada hilangnya identitas, jelas berbahaya. Identitas bekerja dari dalam ke luar, sementara persepsi dari luar ke dalam. Identitas membentuk diri kemudian mempengaruhi sekitar, sementara persepsi pengaruh sekitarlah yang membentuk diri. Akitab menginginkan seorang percaya jelas dan hidup dalam identitasnya sebagai Anak-anak Allah. Apapun persepsi dunia pada akhirnya. (*)

Balada Burung Pipit


Oleh :  Made Teddy Artiana



Melihat burung pipit riang berloncatan di pepohonan kian jadi pemandangan langka di kota besar seperti Jakarta. Lebih mudah tentunya menemukan mereka di pasar burung. Berjejalan dalam kandang sempit, dicat warna-warni, siap untuk dijual.

Karena ukuran tubuh yang kecil, posisi burung pipit terbilang rendah dalam rantai makanan. Mereka berada diantara biji-bijian sebagai makanan utama mereka, dan hewan  pemangsanya.

Saat terbang di udara misalnya, selalu ada kemungkinan Elang akan memangsa mereka. Jika hinggap di pepohonan, ular siap mencaploknya. Ketika mereka mencari makan di daratpun, maka kucing dan hewan lain siap menerkam. Belakangan, manusiapun ikut-ikutan mengancam kehidupan mereka.

Jika kalajengking memiliki racun di ekornya, kepiting memiliki capit, bahkan lebah punya sengat beracun, maka burung Pipit jelas tanpa senjata. Cukup menyedihkan. Namun tengoklah sebuah pernyataan agung berikut..

“Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?”

Resep kekuatiran yang diberikan Kristus memang simple namun efektif. Ia melibatkan manusia, bunga bakung dan burung di udara. Mengharukan bagi para burung (terutama burung pipit), sekaligus memalukan bagi kita. Satu-satunya mahluk yang dibuat khusus dengan jari-jemari Allah, namun sekaligus mahluk yang paling sering kuatir.

Kitab Lukas lebih detail dalam melukiskan perbandingan harga burung pipit dan manusia.

“Bukankah burung Pipit dijual lima ekor dua duit? Sungguhpun demikian tidak seekorpun daripadanya dilupakan Allah, bahkan rambut dikepalamupun terhitung semuanya. Karena itu janganlah takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung Pipit. ”


Jika Anda masih penasaran, silakan cek harga terkini burung pipit di pasar burung terdekat, namun untuk harga manusia, Alkitab jelas memajangnya : seharga Yesus Kristus, Sang Firman yang menjadi manusia. Jadi sangat masuk akal jika kemudian Yesus mengajar kita hidup dalam kepercayaan penuh akan pemeliharaan agung dari Allah Bapa (*)

Selama Yesus Masih Memilih Keledai

Oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom



Menyaksikan tayangan media, dimana salah seorang capres berkampanye dengan cara menunggang kuda,  serta-merta mengingatkan penulis pada kejadian di Kitab Suci : Yesus Kristus memasuki Yerusalem dengan menunggang keledai.  Akitab mencatat kejadian ini membuat heboh Yerusalem. Bukan hanya sambutan yang gegap gempita, namun spontanitas masa dalam mengibarkan daun palem, dan jubah yang dihamparkan di jalan yang akan dilewati Yesus, terbilang spektakuler saat itu. Bahkan seandainya saja mereka diam, maka batu-batupun –dijamin Tuhan- akan berteriak menyambut Sang Raja. Sebuah sambutan dahsyat yang tentunya tidak akan pernah terjadi di acara kampanye manapun, sampai kapanpun di dunia ini.

Sebelum mencoba menangkap isyarat yang disinyalkan oleh Yesus, agaknya perlu dijelaskan secara singkat perihal pemilihan keledai di atas. Mengapa Yesus memilih keledai, mengapa bukan kuda? Pada jaman dulu, adalah sebuah kebiasaan bagi raja untuk berkunjung ke rakyatnya.  Biasanya ada dua tujuan. Pertama, membawa damai. Kedua, kunjungan yang bersifat penghukuman. Dalam bahasa Yunani, ini diistilahkan sebagai “Epifani”. Yang unik adalah, rakyat dapat mengetahui maksud kunjungan itu dengan melihat apa yang menjadi tunggangan raja. Jika raja menggunakan kuda, berarti kedatangan ini bermaksud untuk menghukum.  Namun jika raja menunggang keledai, berarti kunjungan itu bermaksud damai. 

Ini kiranya dapat memperjelas isyarat dari Kristus. Paling tidak, Yesus memproklamirkan dua hal: Pertama, Ia adalah raja. Kedua, ia datang membawa damai. Meskipun akhir cerita justru aneh. Raja yang semula dielu-elukan ini berakhir dengan sangat hina-dina, seolah penjahat keji. Lalu apakah tragedi ini mengaburkan kedua isyarat di atas? Tentu tidak, malah menguatkan. Dalam arti yang lebih luas, Kristus raja damai yang datang kepada miliknya, manusia.  Kunjungan pertama ini dengan misi pendamaian (penyelamatan) dari Allah terhadap dosa umat manusia.

Tiba saatnya nanti, pada kunjungan yang kedua (terakhir) Kristus datang bukan dengan keledai, tanpa disambut dengan kehebohan daun palem dan jubah, dan tentu tidak dengan maksud damai. Sang Raja akan datang diiringi segenap balatentara Surga, dalam kengerian, ketakutan dan ratap tangis dunia, dengan satu misi : penghakiman.(*)





Belajar Diam

 Oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom


Dua belas hari di Bali membawa begitu banyak pelajaran buatku pribadi. Berada terpencil dalam villa sederhana dengan kanan-kiri-depan-belakang lahan persawahan, hutan dan sungai membawa sebuah pencerahan yang luar biasa.

Pagi bertemankan belasan kicau burung yang berbeda, kukurunyuk ayam yang saling sahut serta leteran bebek di sawah. Sementara bila malam menjelang, paduan suara kodok dan jangkrik mengambil alih shift jaga.

Suatu malam, saat ribuan bintang gemintang di langit dan kegelapan malam menggantikan tayangan hiburan TV dan peliknya konflik politik. Dalam keheningan agung di salah satu pelosok Ubud, Bali itu, aku dituntun untuk mengingat sepenggal Mazmur Raja Daud yang membuat seluruh bulu kudukku berdiri.

"Diam dan ketahuilah, Akulah Allah, Aku ditinggikan di atas bangsa-bangsa, ditinggikan di bumi"

Tanpa kita sadari ternyata dunia memang terlalu gaduh. Pencapaian sukses terlalu sibuk. Ambisi terlalu berisik. Kepentingan terlalu keruh. Kekuatiran begitu menjauhkan kita dari kedamaian. Menjauhkan kita dari Bapa.

TUHAN tidak menyuruh kita untuk selalu duduk diam di kaki-Nya. Namun paling tidak, jangan sampai kesibukan ala Martha saudara Maria, membuat kita merasa memang “harus” selalu sibuk.

Ironis memang. Manusia menciptakan sesuatu untuk mempermudah hidupnya, namun sesuatu itu kemudian berbalik mengejar hidup manusia bagaikan anjing mengejar pencuri. Senjata makan tuan.

Kemudian hidup menjadi tidak mudah, apalagi murah lagi bagi siapapun. Kemudahan jadi ketergesaan. Teknologi komunikasi mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Lalu, hiburan justru membuat penuh buffer pikiran kita. Alhasi terciptalah manusia-manusia gelisah, sibuk namun rentan.

Kita menjadi demikian sulit hanya untuk sekedar sungguh-sungguh diam. Sendirian bersama Allah. Padahal pada titik itulah terletak seluruh kekuatan melanjutkan perjalanan hidup. Mendengarkan TUHAN adalah kritikal. Jauh lebih kritikal dari mendengarkan siapapun dalam hidup ini. Salah satu caranya adalah pergilah ke alam.

(*)

Arti Sebuah Kemerdekaan

Oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom


Berikut adalah ‘drama pembebasan’ yang pernah dilakukan oleh Kristus. Seorang wanita yang kedapatan berjinah dan terancam hukuman rajam. Atas campur tangan Yesus, wanita itu batal dilempari batu. Kebangkitan Lazarus dari kematian. Yesus memerintahkan jenazah yang telah berumur tiga hari itu keluar dari kubur. Barabas yang seharusnya disalibkan karena kejahatannya, posisinya digantikan oleh Kristus.

Ketiga peristiwa di atas memiliki kesamaan : Yesus membebaskan mereka sementara dari maut (kematian). Sementara? Ya! Mukjizat yang terjadi pada ketiga orang tersebut, tentu tidak membatalkan kematian mereka. Ketiganya (pasti) akan meninggal suatu saat nanti.

Disinilah terletak inti misi kedatangan Kristus yang pertama kali di dunia. Jelas, bukan untuk ‘show off’ mukjizat.  Orang mati bangkit, orang buta melihat, setan-setan terusir dan lain sebagainya, hanya tanda-tanda yang menyertai-Nya. Tanda bukan misi.

Sekarang mari kita arahkan perhatian kita ke saat penyaliban Kristus. Saat semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing : murid-murid berduka, Ahli Taurat bersuka dan sebagian prajurit Romawi berjudi, sesuatu yang sangat pribadi terjadi di atas sana. Diantara tiga manusia yang tengah tergantung antara bumi dan langit, sekarat di akhir hidup mereka. Sesuatu terjadi. Walaupun melebihi seluruh mukjizat, namun luput dari perhatian sebagian besar khalayak.

“Ingatlah aku ketika Engkau memerintah ya Kristus”, pinta seorang penjahat di sisi Kristus. “Tidak menunggu nanti, saat ini juga kau dan Aku di Firdaus”, jawab Yesus terharu bahagia.

Karena upah dosa adalah maut, maka tidak ada sesuatupun yang berakibat fatal dan kekal bagi manusia melebihi dosa. Sayangnya, hanya segelintir orang yang menghayati misi utama Kristus : memerdekakan para tawanan dosa dan membawanya ke sorga. Kristen lebih suka memusatkan perhatian pada hal-hal yang tidak memuat nilai kekekalan : berkat dan mukjizat.  Mimbar gereja terutama digunakan untuk menjanjikan miskin jadi kaya, sakit jadi sembuh, dan bukan fokus pada pertobatan.


Awal Atau Akhir?

Oleh : Made Teddy Artiana



Lukisan karya Crijn Hendricksz Volmarijn ini cukup terkenal. Seorang muda sederhana nampak sedang mengajari orang yang berusia lanjut dalam penampilan  mentereng. Uniknya pengajaran dilakukan di malam hari dan hanya diterangi lilin.

Sebagian orang menafsirkan kedatangan Nikodemus di malam hari itu, lantaran kesibukannya. Ia hanya punya waktu di malam hari. Ada pula yang berpendapat, kedatangan di malam hari itu karena menurut Nikodemus, Yesuslah yang terlalu sibuk di  siang hari. Penafsiran lain beranggapan Nikodemus sengaja bersembunyi dari khalayak, terutama sejawatnya kaum Farisi. Jika mereka semua orang tahu Nikodemus –pemimpin agama Yahudi- mendatangi Yesus. Apa kata dunia? Yesus adalah orang yang paling ingin disingkirkan (dibunuh) oleh para pemimpin agama Yahudi saat itu!

Karena kedatangannya yang misterius, Nikodemus kemudian dicatat istimewa. Yohanes beberapa kali mencantumkan bahwa, Nikodemus adalah Nikodemus, ia yang datang kepada Yesus di malam hari.

Ternyata bagi Yesus itu bukan persoalan. Kapan ia datang, maksud kedatangannya, siapa yang menyuruh dia, semuanya itu tidak penting. Yesus tidak tertarik pada politik, tidak juga popularitas, atau gosip, Ia berfokus pada misi-Nya. Dan itu tegas di katakannya, beberapa kali : “Engkau (Nikodemus) harus dilahirkan kembali”.

Apapun kedatangan Nikodemus dalam gelap, secara harfiah mewakili kebingungan, ketidakmengertian.

Tapi satu hal, perjumpaan dengan Yesus tidaklah disia-siakan oleh Nikodemus. Buktinya?

Lihatlah. Seorang yang datang dalam gelap itu kemudian mulai muncul ke terang ‘membela’ Kristus. Berujung ketika semua orang–termasuk para murid- lari meninggalkan Yesus, ia dan Yusuf dari Arimatea, berani mengidentifikasi diri mereka dengan Yesus. Nikodemus kini tampil terang-terangan menanggung segenap resiko. Merawat jenazah seorang penjahat yang mati dengan cara terhina dan terkutuk, yang tidak lain adalah Sang Mesias, ular tembaga yang dipancangkan di atas tiang yang tinggi, yang harus dilihat (dipilih) oleh semua orang untuk mendapatkan kesembuhan (keselamatan).


Awal memang penting bagi proses segala sesuatu, namun tidak sepenting akhir. (*)

Gaung Kemerdekaan dari Gerasa.

Oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom



Jaraknya tiga puluhan mil dari Danau Galilea. Dengan perahu, perjalanan ditempuh dalam dua hari. Gerasa, daerah yang terkenal sebagai penyuplai daging babi  untuk orang Romawi adalah tujuan pelayanan Yesus selanjutnya. Agak aneh memang, jauh-jauh berlayar demi orang kafir yang kerasukan setan. Sesuai dengan namanya, Legion, setan yang merasuki orang ini  berjumlah kurang lebih 5.000-an. Alasan yang masuk akal, saat penduduk sekitar tidak sanggup menjinakkan orang ini. Kata damazo yang digunakan jelas mengacu kepada binatang liar. Legion menyengsarakan kehidupan orang ini, tanpa ada seorangpun yang sanggup menolong.

“Siang malam ia berkeliaran di pekuburan dan di bukit batu sambil berteriak-teriak dan memukuli dirinya dengan batu” (Markus 5:5)

Sungguh sebuah kehidupan yang mengerikan.

Namun sesuatu yang unik terjadi ketika ia melihat Yesus dari jauh. Orang yang dirasuki setan-setan itu berlari mendekat lalu menyembah Kristus.

 “Apa urusan-Mu Yesus, Anak Allah Yang Mahatinggi?”, teriak roh-roh jahat dalam ketakutan, mengakui superioritas kuasa Kristus, sekaligus berupaya ‘mengklarifikasi’ keadaan. Ini adalah daerah orang kafir, penyuplai babi yang dianggap najis, lagipula ini area pekuburan.  Jelas beda dengan Israel, wilayah pelayanan Yesus, dimana setan-setan diusir keluar tanpa ampun.

Satu hal. Sepanjang itu berurusan dengan manusia, jelas itu adalah urusan Kristus.

Singkat cerita. Orang itu dimerdekakan. Kehidupannya sebagai manusia dipulihkan oleh Kristus. Legion diusir berpindah kepada babi-babi yang jumlah 2.000 ekor. Semuanya berakhir tragis, terjun ke dalam jurang lalu mati. Bagi Allah, seorang manusia, tentu jauh lebih berharga dibandingkan 2.000 babi.

Sebuah penggambaran yang sungguh tepat tentang bagaimana dosa menjajah manusia. Tidak ada yang terlalu kuat yang sanggup memerdekakan kita dari maut, yang adalah upah dosa. Hanya Kristus, Firman yang menjadi manusia yang sanggup membebaskan kita. Mengembalikan ‘gambar ilahi’ yang cacat akibat dosa. Hingga kehidupan ini kembali indah dan berarti.

Jika Kristus yang membebaskan kita, percayalah kita benar-benar merdeka. Merdeka!! (*)

“Nyang Penting Pelototin Amplopnye!”


Oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom



Peristiwa ini terjadi di hiruk pikuk nya perayaan 17 Agustus ala Kalimalang. Adegannya pasti sudah sangat akrab dimata kita. Melibatkan beberapa pemeran. Coklatnya air Kalimalang, sekumpulan bocah-bocah bertelanjang dada, sebatang pohon pinang yang licin –karena sudah diserut dan dilumuri oli- lalu penonton dan yang terakhir –yang paling penting- adalah hadiah (bisa berupa benda-benda, ataupun amplop).

Aturannya sederhana : barangsiapa yang berhasil menaklukan kelicinan pinang itu dan berhasil mencapai ujung, ia berhak atas hadiah. Silakan pilih sendiri! Apapun itu! Kalau gagal? Resikonya beragam, tercebur di Sungai Kalimalang dan meminum airnya atau benjut, kejedot batang pinang.

Walaupun terlihat sederhana bagi penonton, tetapi sangat tidak mudah bagi bocah-bocah itu. Sudah lima belas menit berlangsung, tidak satupun dari mereka yang jangankan untuk sampai diujungnya, setengah dari pangkal pinang itu saja, belum ada satupun yang berhasil menapakinya lebih jauh dari dua meter.

Adegan terpeleset, nyebur, kejedot sudah terjadi seluruhnya, bahkan sudah sempat berulang untuk yang kesekian kali. Keadaan mulai membosankan. Para penonton yang semula tertawa terbahak-bahak, kini hanya tersenyum. Bahkan diantara mereka sudah banyak yang sibuk ngobrol sendiri dan hanya menoleh sesekali ke arena. Beberapa ibu mulai memunculkan raut wajah yang mengasihani bocah-bocah itu. Sangat bisa dimengerti. Sudah pada begeng, gak pake baju, basah kuyub, bibir membiru dan menggigil pula!

Hingga seseorang menyeruak menyeruak kerumunan. Berbadan gempal, berkumis tebal, kuit legam, wajah seram, dengan mengenakan topi bertulis “FBR”. Ia berjongkok, lalu memanggil bocah-bocah malang itu. Bagaikan domba-domba yang baru saja dicukur di musim dingin, dengan gemetar mereka mendekati Bang Jampang.
“Hoiiiiii…yang elu pelototin itu no…amplopnyeee !!!”, teriaknya serak namun kuat,” bukan pinangnye!! Kallo pinangnye yang elu pelototin, sampe jadi pocong juga kagak ada yang bisa nyampe!!!”

Kata-kata yang tidak akan bisa kulupakan seumur hidup.

Kata-kata itu muncul bak mantra sakti mandraguna terlebih ketika dalam perjalanan hidup meraih cita-cita, sesuatu dengan label ‘kesulitan’ atau ‘ketakutan’ atau ‘tidak mungkin’ bagai drakula, menghadang ditengah jalan sambil menunjukkan taringnya. Dan ketika mantra si Bang Jampang itu terngiang, aku sengaja mengulanginya beberapa kali secara verbal : “Yang elu pelototin itu… amplopnyeee!!! bukan pinangnye !!”

Lalu akupun segera membayangkan diriku berdiri sebagai salah satu bocah Kalimalang dalam pertandingan pinang 17-an itu. Pikiranku segera berfokus pada tujuanku. Sesuatu yang mewakili passion yang tertinggi. Cita-cita. Tanpa mau ditakut-takuti berlebihan dengan pinang berlumuran oli, coklatnya air Kalimalang bahkan cemoohan para penonton yang siap menertawakan kegagalanku. Lalu mulai berjalan. Pengalaman bertutur, hampir tidak ada halangan yang berhasi mematahkanku sampai ke tujuan.

Lalu bagaimana kelanjutan kisah bocah-bocah Kalimang itu setelah mendapat briefing dari Bang Jampang? Akhirnya, tidak sampai 10 menit, amplop-amplop diujung pinang itu habis ludes tanpa sisa disikat bocah-bocah Kalimalang. Perubahan dahsyat, yang sebelumnya ‘nyaris’ pulang sakit hati, merana, gigit jari jempol kaki! (*)



“Quo vadis, Domine?”

Oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom



Wanita separuh baya berdiri bingung di samping mobil mereka. Dua wanita muda yang kemungkinan besar adalah anaknya tampak sibuk dengan smart phone mereka masing-masing. Yang satu mengetik, yang lain menelpon. Rupanya mereka kehilangan arah. “Ibu, ada yang bisa saya bantu?”, sapaku. “Aduh kebetulan Mas,” sang ibu tersenyum sumringah,” saya itu bingung. Kalau ke arah blok M kemana ya, Mas?”

Bagi siapapun yang ingin bepergian, arah adalah sesuatu yang penting. Bepergian tanpa arah yang jelas, lebih pantas disebut ‘lontang-lantung’. Apalagi jika salah arah, tentu merupakan suatu bentuk pemborosan sumber daya. Arah menjadi semakin kritikal, manakala kita aplikasikan dalam kehidupan. Hidup tanpa arah, jelas hidup yang sia-sia. Hidup dengan arah yang salah, pasti akan berujung bencana.

Pengalaman Rasul Petrus lebih dari cukup menjelaskan hal tersebut. Saat itu jemaat di Roma tengah dianiaya oleh Kaisar Nero. Orang Kristen dianggap sama dengan binatang. Mereka disembelih, diumpankan sebagai makanan singa, dibakar hidup-hidup dan berbagai siksaan keji lain. Dengan maksud menyelamatkan Petrus, murid-muridnya mengusulkan agar Petrus melarikan diri dari Roma. Petrus setuju. Namun di luar kota Roma, ia mendapat penglihatan. Petrus berpapasan dengan Yesus Kristus.

“Quo vadis, Domine?”. Hendak kemanakah Engkau, Tuhan? tanya Petrus.

Jawaban Yesus sungguh menusuk hati. Eo Romam crucifigi iterum. Aku akan pergi ke Roma untuk disalibkan kedua kalinya.

Seketika itu juga Petrus sadar. Ia tidak hanya sekedar lari, namun mengambil jalan berlawanan dengan Sang Guru!

Demikian sering kita berada dalam posisi Petrus : lari dari jalan kita, kemudian mengambil jalan berlawanan dengan yang Allah inginkan. Petrus masih beruntung, ia berpapasan dengan Yesus! Seberapa banyak anak-anak Tuhan yang walaupun telah ‘berpapasan’ (baca : diingatkan) oleh Tuhan, tetap mengeraskan hatinya.  Kecelakaan, kebangkrutan, sakit-penyakit dan hal-hal buruk yang diijinkan oleh Allah, tidak sanggup membuat mereka kembali ke jalan yang Allah kehendaki.


 Manusia memang dikaruniai ‘kehendak bebas’, namun adalah kebenaran yang absolut ketika kita tidak berjalan di jalan yang benar, kita akan berakhir binasa. Karena walaupun banyak jalan menuju Roma, tapi hanya ada satu jalan menuju Bapa, yaitu Yesus Kristus yang adalah Jalan dan Kebenaran dan Hidup. (*)

Batu atau Kapas?

Oleh : Made Teddy Artiana



"Mana lebih berat batu 100kg atau kapas 100kg?"
Dengan ke-PeDe-an dan spontanitas ala Petrus, aku menjawab : "Batu!"
Sesegera itupun aku tahu jawabanku keliru.

"Kalau dimasukkan ke dalam air, mana yang lebih berat, batu 100kg atau kapas 100kg?"
Meskipun sudah salah di pertanyaan pertama, namun logika ini seakan masih tidak bisa diajak jernih. Tetap saja bibirku menjawab : "Batu!"
Skorpun tercatat 2 : 0
Maklum, ketika itu masih SD..hehehe

Tiga puluh tahun kemudian, seseorang kembali bertanya kepadaku dengan masih melibatkan kedua benda aneh itu.

"Mana yang lebih bisa menampung air, apakah batu 100 kg ataukah kapas 100 kg?"
Untuk pertanyaan ini aku terdiam.
Bukan saja keluguan masa kecilku yang terlintas, namun kata-kata Yesus Kristus dalam Alkitab.
"Engkau di dalam Aku, Aku di dalam mu"

Pernah merendam batu atau kapas -tidak perlu 100kg, tentu saja- dalam gelas berisi air? Setelah diangkat ke permukaan, tidak perduli seberapa lama batu direndam dalam air, air tetap tidak berada dalam batu. Hanya batu yang berada di dalam air.

Namun hal yang berbeda terjadi, jika kapas yang kita rendam. Setelah diangkat ke permukaan, kapaspun "mengandung" air. Pertanda tidak hanya kapas di dalam air, namun juga air berada di dalam kapas.

Tapi tunggu, jangan-jangan..kesulitan orang Kristen dalam mengenal TUHAN-nya..hanya karena kita memilih seperti batu : menolak memasukkan air ke dalam dirinya. Dengan kata lain, TUHAN harus ngikut mau kita, bukan kita yang ngikut TUHAN. Tengoklah, list doa-doa egosentris itu.

TUHAN...
Kami minta ini..itu..
Berkati ini..itu..
Jaga kami..
Tolong ini..itu..

Menempatkan TUHAN dengan ke-Maha-Kuasa-an NYA, sebagai team sukses, bahkan lebih buruk lagi tukang pukul bahkan kacung. Sungguh tidak tahu diri. Semoga kita segera sadar, sebelum kerohanian kita sungguh-sungguh 100% membatu.


(*)

Tulus seperti Merpati. Cerdik seperti Ular. Sabar seperti Serigala.

Oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom



Dua kalimat pertama, pasti cukup akrab di telinga. Yesus Kristus yang mencuatkan analogi unik itu. Akan tetapi "Sabar seperti Serigala?" gak salah tuh? Memang, kalimat terakhir tidak ada di Alkitab.

Serigala memang terlanjur di posisikan sebagai binatang yang menyeramkan. Terutama oleh film-film Hantu, lolongan "aaauuuuwww..auuw..auuuww!" Serta merta ditujukan pada hal-hal mengerikan. Entah itu ‘Werewolf’ atau sekedar ‘memberi kode’ hantu lewat.

Namun beberapa fakta tentang Serigala cukup mengagetkan. Betapa hewan buas ini dikaruniai sebuah senjata yang luar biasa oleh Sang Pencipta bernama : kesabaran.

Serigala tidak memiliki kekuatan macam Singa, atau kecepatan bagai Citah, keperkasaan laksana buaya, atau taring mematikan seperti Harimau. Itulah yang membuat  ia dan gerombolannya akan sabar mengamati buruan yang seringkali jauh lebih hebat dari dirinya. Pengamatan ini bisa memerlukan waktu berhari-hari. Sekelompok Serigala begitu sabar mengamati sekelompok Bison selama berhari-hari, untuk sungguh-sungguh menemukan Bison mana yang tepat untuk dijadikan target sasaran. Sebagai konsekuensi tambahan dari hal di atas, serigalapun harus sabar membututi hewan buruan dari suatu tempat ke tempat lain.

Pada saat eksekusipun, kesabaran Serigala terlihat sabar. Mereka akan berkejar-kejaran secara Marathon dengan hewan buruannya bisa hingga 180km!

Bagaimana dengan terkaman-terkaman mematikan? Sayangnya itupun tidak dimiliki Serigala. Jadi mereka hanya akan menggiti berulang-ulang korbannya dan membuat korban lemas kehabisan darah.
Dan yang paling unik adalah setelah mereka berhasil mendapatkan buruan, maka Serigala akan sabar mengantri sesuai umur untuk giliran makan. Selapar apapun mereka.

Kemudian yang mengharukan dari drama perburuan itu adalah, betapa sekelompok serigala pemburu akan sabar menenteng pulang daging segar hasil buruan itu dan memberikan kepada para Serigala betina dan anak-anak mereka, betapapun jauhnya jarak yang ditempuh, tanpa meng-korupsi sedikitpun daging itu diperjalanan.

Renungkan fakta-fakta ‘sabar’ di atas. Lalu bandingkan dengan kita, manusia.

Apakah kita cukup sabar menghadapi semua tantangan, pencobaan, kesusahan hidup, apalagi mengetahui ada BAPA di atas sana yang pasti selalu terlibat untuk mendatangkan kebaikan dalam hidup anak-anak-Nya.

Seringkali kekalahan, kegagalan terjadi bukan karena kita kurang cerdas, kurang modal, kurang kuat..dan sebagainya, namun hanya karena kurang sabar.

Kita bisa berdalih bahwa teknologi, persaingan, kemacetan lalu lintas yang membuat kita kehilangan kesabaran kita. Mereka memaksa kita bereaksi secepat-cepatnya. Merekalah yang membentuk kita seperti sekarang ini. Namun jika direnungkan lebih dalam, bukankah kita seharusnya menempatkan diri sebagai ‘subyek’ dan bukan ‘obyek’ (korban) keadaan? Sebagai ‘pemimpin’ dan bukan sekedar ‘ciptaan biasa’? Menjadi ‘Rahmat’ dan bukan ‘bulan-bulanan’ bagi semesta? Sepertinya kita harus mengambil alih posisi kita sebagai manager-nya Allah. Dan sabar, adalah syarat sekaligus kekuatan dalam menggenapinya. (*)


Tuntunan Yang Terlupakan

Oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom



Disuatu malam gelap, di tengah lautan dalam cuaca yang kurang bersahabat.

"Kapten..! Kapten..banguun..!", teriak seorang kelasi kapal, tergopoh-gopoh membangunkan sang kapten.
"Aoohheemm..ada apaaa?!"
"Maaf membangunkan Anda, kita punya masalah serius.."
"Masalah serius? Apa itu..!"
"Ada sebuah kapal di depan kita, pada jarak 25 mil. Dan mereka tidak mau minggir"
"Lho, suruh mereka minggir!"
"Saya sudah menyuruhnya minggir, tapi mereka menolak"

"Kurang ajar..! Beraninya mereka bersikap demikian dgn kita, kapal perang bersenjata lengkap?! Apa mereka tidak tahu, kita bisa meledakkan mereka dgn mudah?? Biar aku yg menyuruhnya minggir"

Kapten kapal perang itu bergegas bangkit, lalu mereka berlari menuju ruang kemudi. Dengan tak sabar, sang kapten merampas radio, lalu membentak dengan keras.

"Kami memerintahkan kalian minggir 15 derajat"
Suara diseberang menjawab tak kalah tegas.
"Justru kalian yg kami perintahkan minggir 15 derajat".

Kapten terhenyak.
"Di sini Kapten Richard, memerintahkan kalian minggir!"
Suara diseberang menjawab.
"Saya, Simon..memerintahkan kapal anda minggir sebelum terjadi sesuatu!!!"

Kini, dengan murka Kapten menjawab..
"Grrrhhh..kalian tidak tahu kami??!!! kami kapal perang angkatan bersenjata 'Badai Lautan'...!!!"
Suara radiopun menjawab.
"Ok. Kami...mercusuar..!!!!!"

Sering kali, kita menyangka kita menguasai hidup kita. Mengetahui segala apa yang kita rencanakan dan tahu persis apa yang kita lakukan. Kemudian dengan arogan mengabaikan "cahaya peringatan" dari Sang Mercusuar, yang sebenarnya selalu ingin mendatangkan kebaikan bagi hidup kita. Sudah terlalu banyak, kapal (baca : manusia) karam menabrak karang, hanya karena memilih jalannya sendiri.
Manusia ciptaan istimewa, itu benar. Ia adalah kalifah bagi ciptaan lain, itu pun tak terbantahkan. Namun bukan berarti kita kemudian mampu berjalan sendiri tanpa tuntunan ilahi dari Sang Khalik. Karena nyatanya dan faktanya kita sangat lemah dan terlalu mudah hilang arah. Lalu mengapakah kita tidak mempercayakan diri kepada cahaya dari Sang Mercusuar?
(*)


Pasir di Laut atau Bintang di Langit?

Oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom



Keduanya memiliki persamaan : sama-sama banyak. Bahkan lebih dari sekedar banyak. Jika hanya jumlah yang ingin digarisbawahi, jelas simbolisnya sama. Mereka berjumlah misterius alias tak terhitung.

“Keturunanmu akan sebanyak pasir di laut dan bintang di langit”. Demikian nubuatan yang dipastikan terjadi bagi keturunan lelaki tua itu.

Pasir memang sebanyak bintang. Namun ada perbedaan yang signifikan diantara keduanya : pasir di bawah, langit di atas.
Yang pertama diinjak-injak, yang kedua menjadi pandu.
Yang satu redup tak terlihat, yang lain gemerlapan menarik perhatian.

Jika aku kemudian terhisap lalu terhitung sebagai keturunan Abraham, sang lelaki tua itu. Maka satu hal yang tersisa dan tentunya harus mendapat jawaban tegas : apakah aku termasuk pasir atau bintang?

Tapi tunggu...
Seingatku seorang laki-laki lain yang jauh lebih muda di jaman yang jauh berbeda mengatakannya dengan cara yang berbeda : “Kamu adalah terang dunia!”. Ia mengawalinya dengan begitu jelas dan tegas.

“Kota yang terletak diatas bukit, tidak mungkin tersembunyi! Karena orang tidak menyalakan pelita lalu menaruhnya di bawah gantang, tetapi diatas kaki dian..”

Sepintas lalu mungkin tidak ada hubungannya dengan pasir dan bintang.  Namun demikian, kucoba untuk memperhatikannya dengan lebih teliti.

Ia bicara soal “kumpulan”. Kota-walaupun tidak sebanyak bintang.
Ia juga bicara tentang “ketinggian”. Bukit- walaupun tidak setinggi langit.
dan terakhir..
Ia bicara soal “terang”. Pelita- walaupun tidak segemerlap bintang.

Dari “bintang di langit” kepada “kota diatas bukit”. Yesus Kristus,  sama sekali tidak sedang menurunkan ‘standar’ keturunan nenek moyangnya, Abraham. Ia membawa ide itu dalam keseharian manusia. Menjadi sesuatu yang terjangkau oleh nalar manusia.  Membuat ide tentang bintang itu menjadi sangat mungkin.

Ternyata isu sentralnya bukan pada persoalan “jumlah” semata, namun kualitas.
Jadi aku rasa pertanyaan “Apakah aku termasuk bintang ataukah pasir?” tidak perlu kujawab.  Jauh lebih penting jika aku putuskan saja sekarang. Bahwa aku harus jadi bintang di langit, serendah-rendahnya..jadi kota bercahaya di atas bukit.
Amin!
(*)


Popularitas


Oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom



Sebagaimana halnya para pemimpin lain, Yesus Kristus menarik banyak orang datang kepada-Nya. Tidak terlalu puas dengan kata ‘orang banyak yang berbondong-bondong’, kitab Markus dan Lukas memutuskan untuk lebih detail mencatat berapa orang banyak yang berbondong-bondong itu.
Kitab Markus mencatat 4.000 orang, sementara kitab Lukas 5.000 orang. Meskipun keduanya mengacu pada peristiwa yang berbeda, namun kedua kitab tersebut sepakat menghitung hanya kaum laki-laki saja. Mari kita berhitung, walaupun dalam kira-kira. Kita pilih catatan Markus, 4.000 orang laki-laki. Jika mereka berpasangan, berarti jumlahnya sekitar 8.000 orang. Jika mereka membawa anak, katakanlah satu pasang membawa seorang anak saja, berarti jumlahnya sudah tiga kali lipat, yaitu 12.000 jiwa.

Satu hal yang perlu kita ingat adalah, di jaman itu jumlah penduduk belum sepadat sekarang. Hal lain yang perlu digarisbawahi adalah, saat itu belum ada gadget, internet apalagi sosial media. Jadi jika orang sebanyak itu bisa berkumpul di suatu tempat, maka dapat disimpulkan kejadian tersebut sangat dahsyat.

Sepak terjang Yesus Kristus saat itu memang menguras perhatian banyak orang. Walaupun   ‘mencari perhatian’ bukan tujuan utama, faktanya : tukang kayu yang lahir di kandang domba ini sangat populer. Tanpa perlu membagi-bagi uang ataupun pencitraan. Tapi apa yang dilakukan oleh Yesus terhadap popularitas-Nya?

“...sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang.” (Mat 14:22)

Melebihi pemimpin manapun, sangat masuk akal jika kita simpulkan mudah bagi Yesus untuk merekrut ribuan sukarelawan atau pasukan berani mati –dengan iming-iming surga- lalu mendirikan imperium-Nya di bumi ini. Namun, bukan itu misi Sang Mesias.

 “Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri” (Mat 14:23)

Inilah “teladan kepemimpinan” yang membedakan Kristus dengan para pemimpin dunia kebanyakan. Popularitas sering kali membuat pemimpin dan yang dipimpin tersesat. Namun kesendirian bersama Allah menjaga visi dan misi Kristus selalu sejalan dalam rencana Allah, sekalipun dunia akhirnya membelakangi Kristus. (*)